Minggu, 24 Mei 2009

Darah Perawan

Untuk memudahkan perawatan dan pengobatan, kakek tinggal di Bandung, sedangkan untuk urusan makan, aku dititipkan ke Bi Neneng, tetangga sebelah. Karena tidak ada kakek dirumah, sore aku punya waktu luang untuk main dan berkumpul dengan teman2 di kebon balai desa. Kebon ini seperti markas bagi kami. Dari markas inilah aku dapat tawaran utk makan dirumah mereka. Beberapa kali aku makan di rumah Kang Maman, Kang Dedi, Teh Euis, Ceu Ita. Mereka semua baru berkeluarga sehingga kami selalu makan bertiga dengan istri atau suaminya, kecuali Teh Euis baru akan menikah minggu depan sehingga kami makan dengan orangtua dan saudara2 Teh Euis.

Karena kami akrab sejak dulu, makan dirumah mereka serasa makan di rumah sendiri. Kecuali di rumah Kang Maman. Istrinya, Ening, masih menunjukkan rasa kesal atas kejadian di saung beberapa bulan lalu. Saat itu, dengan menonton mereka berhubungan, aku menjadi satu2nya laki2 selain suaminya yang pernah melihat Ening bugil, Ening mengerang nikmat, dan pernah memegang serta memasukkan jariku ke vaginanya. Setiap melihat Ening membangkitkan memori itu dan membuatku terangsang. Tetapi setiap melihat sorot mata Ening, aku menjadi merasa bersalah dan ingin segera pergi.

Saat makan di rumah Euis, bapaknya bilang bahwa Euis akan menikah minggu depan. Dan karena rumah barunya belum selesai, Euis dan suaminya akan tinggal di rumah kakekku selama 2-3 bulan. Hal ini sudah dibicarakan dan diizinkan oleh kakek dan om di Bandung.

“Jadi nanti kamu nanti tidak sendirian dan minta makan sama Euis saja”, kata bapaknya Euis.
“Asyik dong..”, seruku lalu ‘tos’, tanganku dan tangan Euis bertepukan melakukan salam persahabatan kami.

Sebelum acara pernikahan, mereka mulai boyongan beberapa perlengkapan rumah ke rumah kakek. Hari pernikahan dan malam pengantin dilaksanakan di rumah orangtua Euis, baru hari kedua setelah pesta pernikahan Euis dan suaminya Kang Ohim buru-buru ngungsi ke rumah kakek, karena hari ketiga suaminya sudah kerja lagi. Kang Ohim berperawakan kecil. Tingginya sama atau mungkin lebih pendek setengah centi dari Euis, istrinya. Untung Euis tidak pernah pakai sepatu hak.

Suatu hari aku pulang agak sore dan masuk lewat pintu belakang. Rumah sepi, tapi aku mendengar sedikit bunyi2an, datangnya dari kamar Kang Ohim. Aku menghampiri pintunya yang tidak tertutup rapat. Dari celah itu terlihat Kang Ohim sedang menindih Euis sambil keduanya bugil. Rupanya Kang Ohim sudah pulang dan ternyata itu bunyi orang yang berhubungan seks tapi ditahan karena takut kedengaran.

Asyik juga menonton orang main seks, walaupun hanya terlihat sedikit. Tapi tak lama, karena Kang Ohim sudah mencapai puncak dan kecapaian, sedangkan Euis masih mendekap Kang Ohim dan melanjutkan gerakan untuk mencapai puncak. Mata Euis menatap keatas, lalu.. ia melihatku!. Sejenak ia menghentikan gerakannya. Dan aku segera beranjak pergi ke belakang menuju kamar mandi.

Di kamar mandi itu aku mengeluarkan penisku yang tegang dan coba beronani dengan sabun. Belum sempat aku mengambil sabun, Euis dengan hanya menggunakan daster sudah masuk ke kamar mandi.

“Kamu ngintip ya, bandel!, teman sendiri diintip. Nggak kompak nih!” gaya khasnya nyerocos mengomeliku.
“Maaf, nggak sengaja”, kataku membela diri sambil mengajak dia ‘tos’
“Iya tahu, kamu nggak sengaja. Tapi harusnya segera pergi, jangan malah diam menonton”, katanya sambil ‘tos’ dan balik badan untuk berlalu.

Tiba2, sebelum melewati pintu keluar kamar mandi, langkahnya berhenti, dan dia berbalik kearahku.

“Coba menghadap sini!”, katanya dan akupun menghadap kearahnya
“Kamu ngaceng ya lihat aku”, katanya menegurku. Aku belum sempat menjawab, ia berkata, “tapi burungmu gede banget”. Lalu ia keluar kamar mandi.

Sebenarnya aku malu pada Euis, tapi tanggung sudah ngaceng, maka aku berniat meneruskan onani. Belum sempat aku onani, Euis sudah masuk kamar mandi lagi.

“Kamu bisa tolong aku nggak”, katanya sambil ngajak aku ‘tos’
Aku membalas salam persahabatan ‘tos’, “buat teman sih ayo saja. Memangnya menolong apa?”
“Kang Ohim tidur kecapekan. Aku sudah diperawanin dia sejak malam pengantin. Cuma aku bingung, kok nggak ada darah perawannya. Pagi2 aku buru2 cuci seprei dan bilang untuk bersihkan seprei dari mani dan darah perawan. Nah sampai sekarang aku ngewe sama dia tak pernah ada darah perawan, padahal kan aku belum pernah ngewe sama siapa2, aku masih perawan”, katanya.
“Terus, maksudmu minta tolong?”, aku bertanya ke Euis karena belum menangkap maksudnya

Euis mendekatkan mulutnya ke kupingku dan berbisik, “mungkin gara2 burungnya Kang Ohim kecil. Tadi kulihat burungmu besar. Siapa tahu kalau pakai burungmu bisa ada darah perawan”
“Ah yang bener saja. Kita kan teman”, kataku
“Aku penasaran”, katanya. Di menyeretku ke dapur, merebahkan diri di lantai dan menyingkapkan dasternya sehingga terlihat vaginanya yang tebal dengan bulu2 yang masih jarang dan halus disekelilingnya. Khas pemandangan vagina berumur 17 tahun.

“Bener nih?”, aku terangsang. Euis mengangguk “ayo cepetan!”

Aku mencopot celanaku dan Euis membuka selangkangannya. Terlihat bibir vaginanya merekah dan didalamnya ada itil yang kecil, sedangkan bibir dalamnya merah. “Jangan dilihatin. Langsung saja coblos. Tapi pelan2, takut sakit kalau dimasukin yang gede”, kata Euis tak sabar tapi juga takut.

Kuarahkan penisku ke lubang vaginanya, kudorong pelan2. Penisku mulai masuk ke vaginanya dan aku merasakan nikmat yang luar biasa. Kudorong lagi dan lagi, aku berusaha memasukkan semua penisku ke dalam vagina Euis. Ketika hampir semua batang penisku masuk, tiba2 di dalam terasa ada yang menahan sedikit, lalu ujung penisku membentur dinding dalam vaginanya. Saat itu Euis terhenyak dan menggigit bibirnya.

Ia memegang pantatku agar terus menekan kedalam vaginanya. Tapi tak bisa masuk lebih dalam karena sudah membentur dinding dalamnya. Euis menahan pantatku menikmati mentok nya penisku didalam, lalu menghela napas.

“Kang Ohim tidak sampai mentok begini”, katanya, “punyamu memang panjang dan gede”

Euis mengangkat kepala untuk melihat penisku yang masuk ke vaginanya.
“Sudah, sekarang keluarin burungmu dari memekku, pelan2”, dia memerintahku.

Kucabut penisku pelan2 hingga keluar semua. Euis memperhatikan penisku dan dia terlihat gembira. Di kepala penisku ada darah.
“Ini darah perawan. Jadi benar aku masih perawan”, katanya girang sambil ‘tos’ kepadaku
“Kalau menurutku kamu sekarang sudah tidak perawan, ini selaput dara perawanmu sudah sobek dan nempel di tititku”, kataku. Dia tidak terpengaruh ucapanku.

Euis segera beranjak, aku memegang tangannya.
“Terusin lagi yuk. Enak dan tanggung nih”, aku minta untuk meneruskan hubungan seks
“Enak saja. Aku kan bukan istrimu”, kata Euis, lalu ia mengajak ‘tos’

“Plok..”, dua tangan kami ‘tos’ menunjukkan keakraban persahabatan.

Sebuah keakraban yang memberi pengalaman pertamaku menembus selaput dara perawan.

.

1 komentar: