Minggu, 24 Mei 2009

Seks Perpisahan (5)

Aku keluar dari rumah Bu Lia masih lemas. Aku pulang ke rumah. Di tengah jalan ketemu Maman baru keluar dari pabrik sukro. Aku berpamitan karena akan pindah ke Padang. Maman mengucapkan semoga sukses dan memelukku. Aku melanjutkan pulang dan Maman masih ada urusan di pabriknya. Tiba2 Maman memanggilku, mengajak dan memaksaku mampir ke rumahnya. Karena masih dua jam lagi Maman pulang, dia suruh aku duluan dan menunggu di rumahnya. Aku tidak mau karena takut dipelototin Ening, istri Maman. Akhirnya aku habiskan waktu berjalan2 di kota dan kembali ke pabrik sukro untuk jalan bareng Maman ke rumahnya saat hari sudah mulai gelap.

Sampai di rumahnya, Ening masih judes memandangku dan hanya berbasa basi mengucapkan kata perpisahan. Maman mohon izin ke belakang ngomong berdua dengan Ening, dan aku sendirian di beranda. Cukup lama mereka ngobrol, sesekali kudengar Ening agak berteriak dan Maman menenangkan. Kelihatannya mereka sedang berdebat. Merasa tidak enak, aku bermaksud pamit pulang. Maman menyuruhku menunggu.

Lalu Maman keluar, “Sori nunggu lama ya”. “Nggak apa-apa”, kataku.
“Aku suruh tunggu karena kami ada perlu dengan kamu”, katanya. Kali ini kulihat mimik wajahnya agak serius. Tumben dia serius, biasanya ngebanyol.
“Kamu pernah nonton aku dan Ening ngewe kan?”, dia tersenyum mengingatkan kejadian di saung dulu. Ya ampun, ada apa lagi ini?. Aku tidak mau nonton lagi. Aku diam menunggu pernyataan selanjutnya.

Maman menarik napas panjang. “Kami tidak bisa punya anak. Kami sudah periksa ke dokter di Bandung. Hasilnya, aku mandul.”
Maman menarik napas panjang lagi. “Belum ada yang tahu kalau aku mandul kecuali Ening, aku dan dokter. Sekarang kamu juga tahu.”
Maman menarik napas dalam dan merangkul pundakku. “Aku sulit menerima kenyataan ini. Aku gengsi karena selama ini aku komandan untuk masalah cewek.” Dia tersenyum dan menepuk pundakku, lalu melanjutkan, “Aku pingin pernikahanku ini punya anak”. Aku terdiam dan masih mendengarkan kisahnya.
“Kamu satu2nya laki2 selain aku yang pernah lihat Ening bugil dan nonton kami ngewe,” katanya tersenyum. Aku kaget. Apa maksudnya?. Jangan-jangan…

“Aku mau kamu menghamili Ening”. Geledek!!. Aku benar2 kaget. Gila orang ini.
“Tapi Eningnya tidak mau kan?” aku mencoba menghindar.
Maman memanggil Ening, tetapi dia tidak keluar. “Kita masuk saja. Tadi sih Ening akhirnya mau”, kata Maman.

Setelah berada di dalam rumah, ternyata Ening ngumpet didalam kamar. Maman masuk ke kamar membujuk istrinya keluar. Tak lama kemudian lampu kamar dimatikan dan Maman keluar, “didalam saja katanya”. Maman mengajakku ke dalam kamar.

“Lampu kamar depan juga dimatikan. Masih agak terang.” kata Ening. Lalu Maman mematikan lampu di dalam rumah dan membiarkan lampu beranda nyala. Masih ada cahaya sedikit. Remang2 kulihat Ening duduk ditepi ranjang, lalu Maman menghampiri dan duduk di sebelah Ening. Maman menyuruhku duduk disebelahnya.
“Jar, bantu aku supaya Ening hamil”, katanya. Aku diam.
“Tapi Kang Maman tetap disini,” kata Ening sambil menggenggam erat tangan Maman. Maman mencium kening istrinya mengiyakan.
“Ayo Jar,” Maman mempersilahkanku. Aku bingung. Maman mendekatiku dan berbisik, “copotin bajunya”.

Aku menghampiri Ening, ia tak mau melihatku. Maman mengangguk menyuruhku untuk mulai mencopot baju Ening. Ening tidak menolak malah gerak tubuhnya membantu memudahkan pencopotan bajunya. Walaupun samar2 karena gelap, aku melihat susunya yang muncung menantang. Aku hanya memandangnya. Lalu satu persatu aku copot hingga Ening bugil.

Maman membantu merebahkan Ening di kasur sambil memberi kode agar aku juga mencopot seluruh pakaianku. Ening tetap memegang tangan Maman dan meminta ikut rebah disamping, lalu ia mencium suaminya. Maman membalas untuk menenangkan istrinya. Aku mulai merangkak diatas Ening, Maman menepi sedikit memberi tempat bagiku sambil tetap menciumi Ening.
Aku arahkan penisku ke vagina Ening, dan mulai kutekan. Masih seret, kelihatannya oli vagina Ening belum keluar banyak.
“Mmmpphh….Aaww.. mmpph..”, Ening menggigit bibirnya sendiri.

Terus kutekan hingga mentok. Ening memejamkan matanya. Mulai kuayun pantatku sehingga penisku masuk dan keluar vaginanya. Saat kurasa cairan vaginanya sudah banyak, kupercepat ayunan pantatku.

Ening tetap mencium suaminya, tangannya memegang pinggulku. Sedang aku tetap mengayun. Sampai akhirnya Ening mengejang dan melepaskan ciuman suaminya lalu terlentang pasrah, merasakan vaginanya terus disodok.

Maman menontonku yang masih terus mengayun, dia memperhatikan dengan seksama penisku menembus vagina istrinya. Aku agak kikuk sehingga kupercepat ayunanku dan akhirnya aku mengeluarkan mani didalam vagina Ening. Badanku lemas dan terbaring diatas tubuh Ening yang masih pasrah. Saat aku menyingkir dari tubuhnya, Ening segera menghampiri Maman dan memeluknya.

Aku ke kamar mandi membersihkan diri, lalu duduk diberanda termenung sendiri. Agak lama aku menunggu akhirnya Maman keluar.
“Sori agak lama, aku terangsang terus Ening minta aku ewe, jadi aku barusan ngewe Ening dulu”, katanya tertawa.
“Besok dan besoknya lagi, sampai sebelum kamu pergi, ulangi lagi ya, biar dipastikan Ening hamil. Kalau nggak hamil aku rugi, kamu yang untung, ha ha ha..”, Maman tertawa. Aneh memang, tapi bagaimanapun Maman adalah temanku.

“Supaya jadi, sebaiknya jangan ada Kang Maman”, aku coba memberi saran dan sok tahu.
“Oke. Besok kamu kesini sore sebelum aku pulang. Nanti aku kasih tahu Ening.”, katanya
“Kalau bisa Kang Maman nganterin aku dulu kesini. Biar Ening dan juga tetangga nggak merasa risih”, lagi2 aku sok tahu.

Maman setuju dan akhirnya aku pamit pulang. Aku tertidur lelap malam itu. Benar2 habis energi. Entah apa yang terjadi hari ini. Hari2 terakhir ini adalah pengalaman pertamaku berhubungan seks secara utuh, dan langsung dengan lima wanita.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar