Jumat, 24 April 2009

Detektif Membongkar Rahasia

Aku kaget ada yang mengetuk pintu. Kulihat disebelahku Yudi dan Arman masih tidur. Rupanya Yuni membangunkan karena kami harus berangkat lebih pagi untuk survey air terjun. Waktu mau mandi, airnya dingin sekali, maka aku hanya cuci muka, mandinya nanti kalau ada kesempatan di air terjun, atau sekalian nanti siang saja. Jadi aku bawa perlengkapan mandi. Aku membangunkan Yudi dan Arman karena mau berangkat dengan Yuni. Di teras rumah, Reni sudah berdiri, melepas Yuni dan aku dengan senyum khasnya.

Jarak berjalan kaki menuju air terjun tidak terlalu jauh. Dan ternyata air terjunnya sangat indah. Yuni dan aku serius merancang acara yang pas di sekitar air terjun. Menurut rancangan kami, acara di air terjun akan ditutup dengan menyiram wali kelas Bu Neni. Karena ngomongin Bu Neni, Yuni jadi kambuh lagi penyakit detektifnya.

Yuni masih menaruh curiga atas perubahan sikap Bu Neni, setelah aku ke rumah Bu Neni sendiri dengan waktu cukup lama. Menurutnya banyak hal bisa terjadi saat aku lama di rumah Bu Neni. Aku tetap bertahan mengatakan bahwa saat itu Bu Neni banyak menceritakan masa mudanya dan mengharapkan aku berhasil dimasa depanku. Kami saling memberi semangat untuk masa depan. Aku memberi semangat dan yakin bahwa Bu Neni bisa mendapatkan yang lebih baik lagi.

Yuni tetap terlihat belum puas tapi juga tak bisa membantah. Lalu Yuni mengungkit masalah lain. Menurutnya, kemarin aku tidak hanya berenang di sungai. Ia tak percaya aku bisa lupa waktu hanya gara2 berenang. Ia juga menduga luka dipunggungku bukan karena kayu atau batang pohon. Aku bilang bahwa memang aku agak terseret arus karena arusnya deras, aku tantang Yuni untuk mencoba berenang disungai kalau waktu pulang nanti kita mampir lagi dirumah makan itu. Untuk luka dipunggung, aku hanya bilang ada banyak jenis pohon di hutan dan batangnya beda2.

Si detektif Yuni tetap belum puas. Lalu ia mengungkit penyelidikan yang ketiga. Tadi malam Yuni tidur sekamar Reni. Yuni melihat jalannya Reni agak tertatih, walaupun Reni berusaha normal. Yuni menanyakan padaku apa yang terjadi dengan Reni tadi malam. Kujawab bahwa Reni beberapa kali terpeleset, mungkin itu penyebabnya. Yuni bilang dia juga bertanya ke Reni dan Reni menjawab terpeleset dengan posisi kaki terbuka sehingga sakit ke pangkal paha.

Yuni tetap berkeras, “Aku masih tidak percaya lho Jar. Aku masih curiga. Semuanya”.
Tugasku merencanakan perlengkapan di lokasi air terjun sudah selesai. Tinggal Yuni yang masih merancang detail acara, pengelompokan dan waktu. Dia sibuk mengitari area dan mencoret2 di kertas. Daripada bengong, karena belum mandi pagi, aku minta izin ke Yuni untuk mandi di dekat air terjun. Aku menyeberang dan mendapat tempat yang tersembunyi dibalik batu besar yang hanya terlihat dari arah air terjun. Walau sudah mempersiapkan celana pendek, tetapi karena cukup tersembunyi dan sepi dan supaya lebih nyaman, aku mandi bugil saja.

Saat bersabun, diantara gemuruh air terjun, aku mendengar benda jatuh ke air dibalik batu besarku. Sambil berendam aku keluar untuk melihat benda jatuh itu. Ternyata Yuni! Rupanya dia terpeleset saat menyebrangi batu2.

Aku menghampirinya dan menanyakan apakah ada yang terluka atau sakit. Hanya tangan dan kaki dan sedikit dipunggung yang terasa sakit. Aku menuntunnya ke tepi dan melihat tangannya yang sakit. Kulihat matanya bergerak2 agak melotot. Aku takut kepalanya terbentur.
“Kepalamu sakit?”, tanyaku.
“Oh.. ah.. nggak..”, katanya.
“Tadi kulihat matamu bergerak2”, kataku.
“Anu.. Jar.. kamu bugil..”, kata Yuni. Oops, aku baru sadar bahwa aku dalam keadaan bugil. Segera aku mengambil celana pendek dan memakainya. Karena tangan Yuni sedikit berdarah, segera aku kembali keseberang untuk mengambil tas obat, lalu segera mengobati luka di tangannya.

“Kakimu yang sakit dimana?”, tanyaku. Yuni menunjuk kearah kedua lututnya. Karena memakai celana jin ketat, agak sulit melihat dari lintingan bawah, jadi celananya harus dibuka.
“Lihat lukanya ya..”, kataku sambil menyuruh mencopot celana jinnya. Dia ragu sejenak, lalu berusaha membuka celananya, tetapi karena tangannya sakit, ia kesulitan. Akhirnya kubantu untuk mencopot celananya. Terlihat kakinya dipaha dekat lutut agak membiru. Maka segera kukeringkan dengan handukku lalu kuoleskan penghangat di kedua pahanya.

“Sekarang lihat punggungmu”. Yuni menyingkap kaosnya keatas dan memang ada memar sedikit. Setelah kukeringkan dengan handuk, kugosok juga punggunya dengan cream penghangat. Supaya tidak kena baju kaosnya yang basah, aku sarankan Yuni untuk mencopot bajunya. Dia tidak bawa ganti, aku juga cuma bawa tambahan celana pendek untuk mandi, maka baju dan celananya kuperas dan kujemur.

Aku duduk disampingnya.”Kenapa kamu harus kesini, kan bisa teriak, nanti aku yang kembali ke seberang”, tanyaku. Yuni diam saja. Napasnya masih terengah2 dan berusaha menarik napas panjang.
“Kamu sudah selesai surveynya?”, tanyaku. “Sudah”, jawabnya.
“Mau pulang sekarang atau nunggu kakinya agak enak jalan, atau nunggu kering baju dan celana?”, tanyaku. “Nunggu kering saja”, katanya.

“Kalau begitu, sekalian bh dan celana dalamnya di jemur biar tidak masuk angin. Sambil nunggu, kamu bisa pakai baju dan celana pendekku yang satu lagi”, aku mengambil pakaianku dan memberikan padanya. Yuni diam sejenak. Lalu menyuruhku melihat kearah lain saat dia copot bh dan celana dalam. Aku ikuti perintahnya.
Setelah dia berpakaian dan minum sehingga lebih tenang, aku melanjutkan mandi. Gantian aku menyuruhnya melihat kearah lain karena aku akan mencopot celana pendek dan bugil lalu berendam di air. Sayang kalau celana pendekku basah dan Yuni butuh celana pendekku yang satu lagi.

Yuni tertawa, “Ngapain aku harus noleh, tadi kan aku sudah lihat kamu bugil”. Dia tidak mau menoleh dan tetap melihat kearahku. Mau tidak mau aku membelakanginya dan segera mencopot celana lalu nyebur ke air.
Saat mau sabunan, ternyata sabunku ada jauh didarat karena tadi kulempar. Kuminta Yuni untuk mengambil sabun.
“Airnya segar nggak?”, tanya Yuni saat memberi sabun padaku.
“Lho, tadi kan kamu sudah kecebur”, candaku.
“Aku ingin mandi juga”, katanya. “Silahkan, tapi baju dan celana pendekku tidak boleh basah”, kataku.
“Kamu menghadap sana dulu”, katanya. Aku mengikutinya. Dia mencopot baju dan celana, lalu berendam ke air. Aku melihatnya. “Segar kan?”. “Iya.”, jawabnya senang. Kami berkecipak kecipuk di air dekat air terjun.

“Sabunnya mana Jar”, tanya Yuni. Aku melempar sabun ke Yuni. Lalu dia sabunan. Tapi dia kesulitan menyabuni punggung karena tangannya masih sakit. Aku mendekat, “Sini, punggunmu aku sabuni”, kataku dan dia memberikan sabun kepadaku.

“Kalau mau disabuni, berdiri dong, jangan berendam”. Yuni berdiri dan aku menyabuni punggungnya dari belakang. Karena kakinya masih sakit, Yuni terjatuh kebelakang. Aku terlambat menahan sehingga kami jatuh berdua keair, Aku dibawah dan Yuni diatas menimpaku. Untung airnya dangkal. Yuni berbalik merangkak untuk berdiri, tapi kakinya lemah sehingga terjatuh dan menimpaku lagi. Akhirnya aku berusaha membopongnya dan merebahkannya di tepi.

Lalu mengambil handuk untuk mengeringkan seluruh bagian tubuhnya. Dari muka, dada, punggung, pinggang, bokong, selangkangan, paha, betis, tangan dan kaki. Lalu kukenakan kembali baju dan celana pendekku.
“Jar”, katanya. Aku menoleh.”Maaf ya, selama ini kukira kamu maniak seks.. Ternyata waktu aku bugil dan lemah, kamu tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Kamu menolong aku dengan tulus tanpa bermaksud mesum”, kata Yuni.

Aku tersenyum. Sebenarnya aku juga sudah terangsang dari tadi. Apalagi saat menyabuni dan saat mengeringkan dengan handuk. Aku melihat dan mengelap susunya yang coklat menantang dan vaginanya yang coklat tertutup jembut yang sudah lebat.

“Kamu sudah punya pacar Jar?”, tanyanya. Aku mengangguk karena mulai tadi malam aku resmi pacaran dengan Reni.
“Berbahagialah pacarmu. Andai aku jadi pacarmu.”, katanya. Aku tersenyum.
Aku memegang baju dan celananya. “Sudah mau kering. Basah sedikit kalau dibawa jalan dan naik motor, bisa kering kena angin”.

Kami berpakaian. Yuni tidak lagi menyuruhku memalingkan muka, tapi membiarkan aku melihatnya bugil. Dan diapun melihatku bugil berganti pakaian.
“Jar, tadi kulihat burungmu kecil, kok sekarang gede?”, tanya Yuni. “terangsang ya?. Kenapa tadi tidak?”, dia bertanya lagi. Aku hanya tersenyum dan memakaikan celana pendekku.

Karena tadi pikiranku hanya menolong Yuni, penisku tidak terangsang. Sekarang aku tidak punya focus pikiran lain. Jadi kalau lihat wanita bugil secara otomatis penisku terangsang.

Yuni yang sedang memakai bh segera berhenti. Dia mencopot kembali bh nya, mencopot celana dan celana dalamnya. Dia bugil. Lalu menghampiriku. Dia menghentikan tanganku yang sedang pakai celana. Mencopot celanaku dan celana dalamku. Kami sama2 berdiri dalam keadaan bugil. Yuni meraih tanganku dan menatapku. Aku diam tetapi penisku semakin ngaceng. Yuni melihatnya dan tersenyum.
“Kamu terangsang melihat aku bugil ya?”, godanya. Aku tidak menjawab.
“Mulutmu tidak menjawab. Tapi burungmu yang menjawab”, katanya tersenyum.

Lalu Yuni merebahkan diri dan menarikku untuk ikut merebahkan diri diatasnya. Dadaku menempel di susunya, penisku menempel di vaginanya.
“Yuni. Aku sudah punya pacar”, kataku dengan posisi menindihnya. Aku teringat Reni yang mengancamku bila bermesum dengan Yuni di survey air terjun ini.
“Aku tahu. Reni kan?”, katanya tersenyum. Aku kaget, dia bisa menebak.
“Walaupun Reni bilang terpeleset, semalam aku lihat ada bercak darah di celana dalamnya” kata Yuni . Dasar detektif, aku jadi tidak bisa berkelit. “Iya, Reni pacarku”, kataku.

Yuni menarik napas dalam. “Aku juga suka sama kamu Jar”, katanya. “Kamu juga suka sama aku kan?”, tanyanya.
“Iya”, aku tak mau mengecewakannya. “Tapi sekarang aku sudah menjadi pacarnya Reni . Aku sayang sama Reni”, kataku. Kulihat Yuni sedikit cemberut. Karena pembicaraan ini, penisku mulai mengendor. Aku hendak berdiri, tapi ditarik lagi oleh Yuni. Dia tersenyum.

“Kalau begitu beri aku pembuktian bahwa dugaanku tentang Bu Neni dan Reni benar”, katanya.
“Maksud kamu?”, tanyaku
“Lakukan padaku apa yang pernah kamu lakukan dengan Bu Neni dan Reni”, katanya. Aku menarik napas.
“Yuni. Kamu masih perawan?”, tanyaku. Yuni mengangguk tersenyum.
“Kalau begitu, perawanmu buat pacarmu saja nanti”, aku menyarankan.
“Kalau sampai tidak tembus perawan, bisa nggak?”, Yuni menawar. Aku diam.
“Atau nanti kulaporkan ke orangtuanya Reni juga ke Bu Neni lho”, Yuni berkata sambil tersenyum.

Aku menatapnya, mengangkat dadaku yang menghimpit susunya, lalu melihat susunya. Lalu mengangkat selangkanganku yang menghimpit selangkangannya, melihat vaginanya dan penisku. Dengan melihat pemandangan ini penisku mulai ngaceng lagi.

“Setengah main saja ya Yun?”, kataku. “Maksudnya?”, tanya Yuni. “Nggak usah dimasukin”, kataku.
“Aku nggak ngerti. Jadi iya saja lah”, kata Yuni senang. Aku juga senang dan sudah sangat terangsang.

Yuni menatapku menunggu. Maka mulailah kucium bibirnya, mungil sekali. Yuni terpejam. Pelan2 aku turun ke lehernya. Lalu turun ke dadanya, mencium dan menghisap satu susu sedangkan susu lain kubelai dan kuremas dengan tanganku. Susunya lebih besar dari susu Reni, putingnya juga. Yuni masih memejamkan matanya dan mulutnya mulai bersuara, “oohh, jar..”

Aku tetap membelai dan meremas kedua susunya dan putingnya dengan kedua tanganku. Sedangkan wajahku mulai turun menciumi perut, bulu jembut . pahanya masih tertutup rapat. Kurenggangkan pahanya sehingga vaginanya terlihat, kubelai bibir vaginanya. “oohh..”, desah Yuni. Jariku mencari itil dan ketemu, walaupun agak kecil dan lebih kecil dari itil Reni, “aaawwwwwhhh ohhh”, Yuni menjerit panjang saat itilnya tersentuh dan kugesek2 dengan jariku.

Lalu kucium vaginanya. “Jar, oohh..”. Kubuka bibir vaginanya dengan jariku, sehingga terlihat jelas itil dan lubang vaginanya yang berwarna merahmuda. Yuni mengepitkan pahanya, lalu kubuka dan kutahan dengan siku tanganku. Lalu kujilati lubang dan itilnya, Yuni meremas rambutku dan memekik keras “aaaaawwwwhhhh aaawwhhhh…”

Lama aku menjilati vaginanya, akhirnya aku merangkak diatasnya. Yuni menatapku dengan pandangan sayu. Dadanya naik turun karena napas dan detak jantung tak beraturan. Aku menciumnya dan meluruskan penisku ke vaginanya, lalu menggesek2kan kevaginanya. “Jar?” Yuni bertanya. “Nggak apa-apa kok Yun”, kataku menenangkan.

Mulailah aku menaikturunkan pantatku menggesek2 penis di vaginanya. “Ooohh Jar ohhh…” desahnya sambil menggelinjang dan menggerak2kan pantatnya
“Yuni..” aku menggenjot sambil bergantian mencium leher, bibir dan susunya.

Kami terus menggenjot dan bergoyang, dan diantara pergumulan kami Yuni berkata, “oohh.. Jar.. hh.. aku.. bisa .. hh .. diatas..?”. “.. boleh..hh”, jawabku. Lalu berguling dan mengangkat tubuhnya menjadi diatasku. Lalu kembali penisku diposisi menggesek vaginanya. Dan mulailah Yuni menaikturunkan pantatnya.
“ohh.. ennaakk bang nget jar.. ohh…”, celotehnya. “..Rheni.. bhelum.. phernahh .. bheghinhi ya..”, katanya lagi. Aku tidak menjawab dan terus memegang pantatnya yang bergoyang dan terus menciumnya.

Cukup lama kami menggenjot sehingga keringat mulai keluar. Lalu Yuni berhenti. Kami bertatapan.
“hh.. jar.., aku.. ingin seperti Reni..”, katanya. “Yuni..”, belum sempat aku selesai berucap, Yuni meluruskan lubang vaginanya ke ujung penisku. Dia menatapku. Napas kami masih tersengal2 karena capek dan gairah.

“Sakit nggak Jar?”, tanya Yuni. “Sakit Yun.. sebaiknya jangan”, kataku mencoba mencegah Yuni memasukkan penisku ke vaginanya. Tapi Yuni tidak peduli, dia menekan sedikit, sehingga kepala penisku mulai masuk ke lubang vaginanya. Lalu diam dan membiarkan kepala penisku mendekam. Kurasa kan sempitnya lubang vagina Yuni, kayaknya lubangnya lebih kecil dari Reni, atau otot lubangnya yang kuat..
“Aww hh..”, Yuni merasakan ada benda yang mulai masuk vaginanya. “Yuni..”, aku mengingatkan sambil membelai rambutnya. Yuni menekan lagi sedikit. ‘aww..hh”, lalu berhenti lagi.

Aku segera mencabut penisku dan menggesek2kan lagi ke vaginanya sambil melumat bibirnya dan meremas susunya. Yuni sempat kecewa tapi karena sedang dalam puncak gairah, dia membalas genjotan. “oohh..ohh..ohh..”. Dan akhirnya Yuni mencapai puncak. “mmmphh..a.. a.. aahhhhhhhhh…”. Lalu terkulai lemas. Aku membiarkannya.

Yuni beranjak dari tubuhku dan langsung menceburkan diri ke air. Dia suruh aku membawa sabun. Kami saling menyabuni. Penisku tegang disabuni, putting susunya Yuni juga mengeras. Mungkin karena terangsang, Yuni memeluk dan menciumku, lalu mendorongku jatuh ke air.

Aku bergeser ke air yang lebih dangkal sehingga dengan sanggahan siku tanganku, kepalaku bisa diatas air, sedangkan seluruh badan dari pundak hingga kakiku berada dibawah air. Yuni kembali menindihku dan menciumku, lalu menggesek2an vaginanya di penisku. Kami mendesah2.

Tiba2 aku merasa kepala penisku bukan menggesek, tetapi masuk ke lubang vagina.
“Yuni!”, aku menegur Yuni, tapi Yuni tak peduli dan terus menekan hingga bless,crot.
“aaaawww..”, Yuni berhenti menekan. ”..saakiitt Jarr”, katanya. Aku bangkit dari rebahku dan duduk memeluk Yuni.

“Sakit Jar, sakit..”, Yuni berlinang air mata. Kami sama2 melihat kebawah. Di dalam air, penisku masih tertancap ke vagina Yuni. Lalu keluarlah darah dari mulut vaginanya. “Jar.. darah..”, katanya. Aku memeluknya lagi dan berbisik “itu darah perawanmu Yuni”.

Yuni mendekapku, “Sakit Jar..”, katanya sedikit menangis. Aku tak bisa berkata apa2 dan hanya bisa memperat pelukan. Kami terdiam.

Kucoba menggoyangkan pantatku untuk membangkitkan rasa nikmat. Dan tak lama Yuni juga menggoyang2kan pantatnya. Pelan2 kami saling bergoyang dan semakin lama semakin cepat. Kami saling mendesah dan mengerang. Hingga akhirnya Yuni kembali mengerang panjang dan lemas.

Aku merebahkannya diair dangkal dan meneruskan menancapkan penis kevagina berulang2. Sampai akupun tak tahan dan kumuncratkan mani diluar vaginanya, tapi masih di dalam air. Yuni segera duduk untuk melihat. Air maniku keluar dari kepala penisku lalu bergerak2 sesuai gelombang air. Yuni memelukku senang.

Setelah istirahat sejenak, kami kembali dan aku setengah membopong Yuni karena dia kesulitan berjalan. Selain karena terjatuh juga karena selangkangannya masih sakit setelah berhubungan seks. Di perjalanan setapak menuju tempat parkir motor, kami bertemu dengan Arman dan Reni. Mereka sudah selesai, dan karena kami belum kembali ke posko, Reni usul agar mereka menyusulku. Melihat Yuni yang jalan terpincang2 dengan luka ditangan, Arman segera datang dan membantuku membopong Yuni.

Sesampai di posko, sambil menunggu Yudi, Reni mengajakku belanja oleh2 ke pasar terdekat, sedangkan Arman menjaga Yuni. Saat kami berjalan pergi, kulihat Reni dan Yuni saling berpandangan penuh arti.

“Jar, Yuni kamu apain?” sambil belanja Reni menanyaiku. “Dia terjatuh waktu nyebrang batu di air”, jawabku.
“Kenapa harus di air? Kan acaranya di darat”, Reni terus menyelidik. “takut ada yang ingin nyebur air, kami cek apakah ada tempat yang dalam atau berbahaya”, jawabku.
Reni mencubit lenganku dengan keras. “Aww!”, aku kaget.
“Kamu pacarku. Dan aku tidak suka pacar yang bohong!”, katanya dengan gemas dan suara ditahan karena takut terdengar di keramaian pasar.
“Iya iya, nanti aku cerita sejujurnya”, kataku.
“Jujur ya!”, Reni mengepalkan tinjunya.

Kami pulang kembali ke Padang. Di mobil Jimny yang sempit itu aku duduk dibelakang dengan Reni. Yuni juga memilih duduk dibelakang bertiga. Tapi Yuni tidak mau Reni ditengah, dia memilih duduk di tepi sehingga aku berada ditengah2 mereka. Reni kesel, tapi dia ingin merahasiakan dulu pacaran kami.

“Wah, asyik nih diapit dua cewek”, Yudi dan Arman menggoda kami. Apalagi ketika Yuni dan Reni tertidur, atau pura2 tidur?, kepala mereka rebah ke pundakku. “Gantian dong Jar”, kata Yudi dan Arman.

Tentu saja aku tidak mau.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar